Sergai, Intarta.com | Sebuah pertemuan yang tak biasa terjadi di kediaman pribadi Bupati Serdang Bedagai, Darma Wijaya. Di malam yang tenang, seorang pria bernama Kris Benhard Siregar (44) datang dengan kepala tertunduk.
Ia bukan tamu kehormatan, melainkan tersangka kasus dugaan penghinaan terhadap sang bupati di media sosial. Namun malam itu, yang tersisa bukan amarah melainkan maaf.
“Saya datang ke sini untuk meminta maaf kepada Bapak Bupati atas unggahan saya di Facebook. Saya menyesal dan sadar sudah keterlaluan,” kata Kris dengan suara bergetar, Rabu (8/10) malam.
Langkahnya malam itu seolah menutup bab panjang dari sebuah kisah kelam di dunia maya. Postingan yang dulu dibuatnya dengan emosi kini berubah menjadi penyesalan yang dalam.
Ia tak lagi membela diri, hanya ingin meminta maaf langsung, tanpa perantara.
Bupati Darma Wijaya menyambut kedatangannya tanpa pengawalan berlebihan. “Dia datang dengan itikad baik. Mengakui kesalahannya, dan berjanji tak akan mengulanginya,” ujar Darma Wijaya dengan nada tenang.
Tak butuh waktu lama bagi Darma untuk memutuskan. Baginya, dendam bukan jalan yang bijak. “Allah saja Maha Pemaaf, apalagi kita manusia. Saya sudah memaafkan Kris, semoga ini jadi pelajaran bagi semua,” ujarnya sembari menepuk bahu pria yang sempat mencemarkan namanya di ruang publik.
Pertemuan malam itu diakhiri dengan jabatan tangan dan senyum kecil, dua simbol yang menandai berakhirnya sebuah persoalan yang sempat memanas di jagat digital Serdang Bedagai.
Kris tak menutupi rasa malu dan penyesalannya. “Status itu memang salah. Tidak pantas, apalagi kalau dibaca anak sekolah. Saya harap masyarakat bisa belajar dari kesalahan saya agar lebih bijak bermedia sosial,” tuturnya lirih.
Sebelumnya, Kris ditetapkan sebagai tersangka oleh Satreskrim Polres Sergai dalam kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), setelah dilaporkan oleh Bupati Darma Wijaya pada 9 Juni 2025 dengan nomor laporan LP/B/201/VI/2025/SPKT/Polres Sergai/Polda Sumut.
Meski proses hukum tetap berjalan sesuai mekanisme, pertemuan keduanya malam itu menjadi sinyal kuat bahwa penyelesaian berbasis hati dan kemanusiaan masih punya tempat di negeri ini.
Bagi Darma Wijaya, peristiwa itu bukan sekadar soal harga diri, tapi soal nilai. “Kalau orang sudah mengakui kesalahannya, memaafkan justru lebih mulia daripada membalas,” katanya singkat sebelum menutup percakapan malam itu.
Sebuah pelajaran sederhana tapi berharga: di tengah derasnya arus ujaran kebencian dan dendam digital, kata “maaf” dan “dimaafkan” ternyata masih punya daya yang menyembuhkan.(DH)